Perlunya Revisi Peraturan Keselamatan Bangunan terhadap Bahaya Kebakaran

M. Deni Desvianto
Bidang Keprofesian dan Regulasi – Ikatan Arsitek Indonesia Jakarta

Insiden kebakaran pada Maret 2015 yang menimpa salah satu gedung perkantoran di Jakarta Pusat memecahkan rekor terlama pemadaman di Asia. Proses pemadaman memakan lebih dari 15 jam karena fire hydrant dan sistem proteksi kebakaran dalam gedung dikabarkan tidak berfungsi, sehingga petugas harus mengambil air dari sumber lain. Meskipun pemilik gedung belakangan membantah kabar tersebut, lamanya waktu pemadaman dan tingkat kerusakan yang terjadi tetap menjadi catatan khusus tentang lemahnya sistem proteksi kebakaran di Jakarta.

Pergub ini bersifat prescriptive-based, di mana sifat ini mengatur teknis-teknis pemadaman kebakaran yang harus dipatuhi oleh pemilik gedung secara rinci. Aturan ini cenderung kaku dan tidak terbuka terhadap inovasi dan efisiensi. Di sisi lain, terdapat Permen PU 26/2008 yang juga mengatur pemadaman kebakaran di level nasional.

Pergub vs Permen PU

Apabila dibandingkan dengan Pergub 200/2015, Permen PU 262/008 lebih fleksibel dengan memperbolehkan aplikasi keselamatan bangunan dengan cara yang berbeda asal persyaratan kinerja bisa dipenuhi dan dipertanggungjawabkan. Berdasarkan diskusi tanggal 25 April 2017 dengan Prof. Dr. Ir. Suprapto Msc. sebagai salah satu tenaga ahli perumus peraturan tersebut, aturan ini seyogyanya menjadi acuan bagi perencana dan pemilik bangunan untuk menerapkan sistem keselamatan bangunan terhadap kebakaran.

Terbitnya Pergub No. 200/2015 yang baru ini menimbulkan pro dan kontra di antara para perencana dan pemilik bangunan karena ada beberapa pasal yang tidak serasi dengan Permen PU No. 26/2008. Contohnya, di dalam Pergub, ukuran lift kebakaran dipukul rata menjadi seukuran lift kebakaran bangunan kelas rumah sakit. Sedangkan pada Permen PU hanya diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan kelas bangunan. Tentu Dinas Pemadam Kebakaran yang menerbitkan aturan ini memiliki alasan tersendiri. Sayangnya, peraturan ini tidak disosialisasikan terlebih dahulu kepada para perencana dan pemilik bangunan.

Para pemilik bangunan semakin terpukul dengan adanya SK Damkar Nomor 23 Tahun 2015. Dengan adanya SK ini, pemilik gedung semakin kesulitan memenuhi persyaratan Koefisien Dasar Hijau (KDH). Pasalnya, persyaratan penghitungan perkerasan jalan akses kendaraan Damkar tidak bisa dimasukkan ke dalam perhitungan KDH.

Meskipun pembatasan akibat kewajiban KDH dan akses Damkar dapat disiasati dengan kreativitas perencana bangunan, daerah perencanaan yang luas lahannya terbatas akan terbebani. Tidak jarang ini menyebabkan kurangnya lahan yang bisa dibangun atau mengakibatkan kurangnya efisiensi pemanfaatan lahan.

Prescriptive-based

Peraturan bersifat prescriptive-based seperti hanya mengandalkan Damkar untuk pemadaman kebakaran. Hal ini tidak salah, namun keterbatasan cakupan Damkar dan kondisi lalu lintas Jakarta menghambat kecepatan Damkar untuk merespon kebakaran. Karenanya, perlu dicari jalan untuk meningkatkan upaya penanganan kebakaran.

Sebenarnya, sudah ada regulasi yang mengatur pengecekan dan pengetesan berkala dari kelaikan komponen proteksi aktif bangunan gedung dan penanganan pertama kebakaran, misalnya Kepmen No. 11/KPTS/2000 mengenai Manajemen Pengamanan Kebakaran di Perkotaan. Langkah ini diharapkan dapat meminimalisir kerugian material dan jiwa yang diakibatkan kebakaran.

Konsep prescriptive-based dalam peraturan keselamatan bangunan terhadap kebakaran di DKI Jakarta saat ini mengadopsi peraturan negara lain. Namun, sebaiknya dikaji lagi ketepatannya terhadap iklim setempat, ketersediaan infrastruktur, jenis dan klasifikasi bangunan. Selain itu, perlu ditekankan kesempatan untuk menerapkan performance-based, selama dapat dipertanggungjawabkan secara teknis.

Jalan Keluar

Tanggung jawab pemadaman sebenarnya dapat dialihkan sebagian ke pemilik gedung melalui optimalisasi proteksi gedung dari kebakaran. Contohnya penanggulangan kebakaran di Amerika Serikat di mana terdapat optimalisasi penggunaan sprinkler, hydrant, dan sistem proteksi lainnya. Sistem ini terbukti berhasil menurunkan angka kebakaran dari 1.098.000 kejadian pada tahun 1977, ke 501.500 kejadian di tahun 2015.

Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) telah menggelar diskusi dengan berbagai pihak dan pemangku kepentingan, termasuk dengan Jakarta Property Institute (JPI), untuk memecahkan permasalahan di atas.

Peraturan yang bersifat prescriptive-based memang memudahkan petugas pemadam, namun implementasinya dapat menyulitkan pemilik gedung karena ketidaksesuaian dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan gedung. Ada baiknya peraturan yang bersifat performance-based mulai dipertimbangkan untuk diterapkan di Jakarta. Perbaikan regulasi penanggulangan kebakaran menjadi salah satu upaya agar kejadian di atas tidak terulang kembali.


News

Blogs