Minatkah Milenial Terhadap Hunian Vertikal?

Minat milenial untuk tinggal di hunian vertikal mulai tumbuh kata Direktur Program Jakarta Property Institute (JPI) Mulya Amri. JPI melakukan survei sepanjang Oktober 2019 hingga November 2019 ke 300 responden. Hasilnya, 54 persen berminat tinggal di apartemen di pusat kota Jakarta. “Berbeda dengan generasi sebelumnya, ternyata generasi milenial lebih siap tinggal di hunian vertikal,” kata Mulya dalam paparan “Minatkah Milenial terhadap Hunian Vertikal?” Kamis, 5 Maret 2020.

Survei tersebut dilakukan melalui pengisian kuesioner online dan wawancara secara tatap muka. Responden berdomisili di DKI Jakarta dan luar Jakarta (Bodetabek) berusia 19-39 tahun.

Berdasarkan hasil survei, terdapat tiga faktor penentu keinginan responden tinggal di apartemen di pusat kota Jakarta: lokasi tempat tinggal, biaya transportasi dan waktu tempuh. Hasil analisa korelasi membuktikan, semakin jauh tempat tinggal dari lokasi bekerja, semakin responden ingin tinggal di apartemen.

Hal yang sama berlaku pada biaya transportasi. Rata-rata ongkos transportasi responden adalah 5-10 persen dari pendapatan mereka yang berkisar Rp 5-10 juta per bulan. “Semakin mahal ongkos transportasinya, mereka semakin ingin tinggal di apartemen,” ujar Mulya.

Untuk sekali perjalanan dari tempat tinggal ke tempat bekerja, sebanyak 36,7 persen responden menghabiskan 31-60 menit. Bahkan 24 persen responden bisa menghabiskan lebih dari 60 menit di perjalanan. Lamanya waktu tempuh juga semakin mendorong keinginan responden untuk tinggal di apartemen.

Apartemen yang terjangkau minim

Masih berdasarkan hasil survei, 82 persen responden memiliki kemampuan mencicil yang terbatas di angka Rp 3 juta. Lebih tepatnya, 54 persen ingin membayar Rp 1-3 juta dan 28 persen kemampuan membayarnya di bawah satu juta per bulan.

Sayangnya, kebanyakan hunian vertikal yang tersedia di DKI Jakarta, baik dibangun oleh pemerintah maupun oleh swasta, tidak bisa dicicil dengan rentang harga tersebut.

Sebagai perbandingan, pengembang swasta berusaha menyediakan apartemen terjangkau contohnya di daerah Kemayoran dipatok Rp 380-667 juta. Dengan harga jual tersebut, nilai cicilannya sekitar Rp 3,8-6,6 juta per bulan untuk tenor 15 tahun. Ini diluar kemampuan cicilan 82 persen responden milenial di atas.

Sedangkan Rusunami DP nol rupiah yang dibangun oleh Pemerintah DKI Jakarta, yaitu Rusunami Klapa Village di Jakarta Timur, dijual Rp 184-300 juta. Cicilannya Rp 2,4 juta per bulan untuk tenor 15 tahun. “Penyediaan hunian terjangkau di kota memang harus didukung oleh kebijakan dan subsidi pemerintah” ujar Mulya.

Mulya melanjutkan, pembangunan Rusunami Klapa Village perlu diperbanyak dan lokasinya didekatkan dengan pusat kota. Untuk mewujudkannya, pemerintah bisa bersinergi dengan swasta. Sebab, pembangunan hunian terjangkau tidak bisa sepenuhnya disediakan oleh pihak swasta.

HGB pendek buat ragu miliki hunian vertikal

Responden lainnya, sebanyak 46 persen, tak berminat tinggal di hunian vertikal. Penyebabnya, selain cicilan mahal, mereka juga lebih suka tinggal di rumah tapak. Alasan lain yang menyebabkan responden enggan tinggal di apartemen tergali dari hasil wawancara. Hasilnya, batas waktu kepemilikan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) turut membuat milenial enggan tinggal di apartemen.

Untuk hunian vertikal, sertifikat yang penghuni dapatkan adalah sertifikat HGB yang mempunyai rentang waktu kepemilikan. Sedangkan untuk rumah tapak, sertifikat yang didapat adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) tanpa rentang waktu kepemilikan.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, jangka waktu maksimal HGB adalah 30 tahun. Sertifikat HGB bisa diperpanjang dengan jangka waktu maksimal 20 tahun. Persepsi responden tentang masa berlaku sertifikat HGB selama 30 tahun adalah terlalu singkat. “Ini hanya bisa diwariskan oleh keluarga hanya satu generasi,” kata Mulya.

Sebagai perbandingan, State Lands Act Singapura, menetapkan angka waktu kepemilikan apartemen selama 99 tahun. Menurut Mulya, jangka waktu yang lebih lama tersebut membuat kepemilikannya bisa diwariskan hingga tiga atau empat generasi.

Mulya mengusulkan, pemerintah bisa mengadopsi kebijakan Singapura. Jangka waktu maksimal HGB yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5/1960 saat ini diperpanjang menjadi atau mendekati 99 tahun. Kebijakan itu bakal menarik minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal. Terlebih, lahan di Jakarta juga semakin terbatas.

Ihwal keterbatasan lahan, Mulya mengatakan pemerintah bisa membangun hunian vertikal murah di lahan milik pemerintah yang tidak optimal pemanfaatannya. Contohnya, pembangunan rumah susun di atas bangunan pasar Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). “Di negara lain, banyak hunian dibangun di atas pasar,” kata dia. Ini bisa mengatasi mahalnya harga tanah sehingga harga jual apartemen bisa lebih terjangkau. Milenial juga bisa kembali tinggal di Jakarta. Tak cuma itu, efek dari urban sprawl (pengembangan kota yang tidak terstruktur) makin berkurang.

Jakarta Property Institute (JPI)

Terbentuk sejak 2015, industri properti modern. JPI melakukan penelitian, memberi rekomendasi inovasi dan praktik- praktik pengelolaan Jakarta Property Institute adalah lembaga non-profit yang memiliki misi membantu Jakarta menjadi kota lebih layak huni dan mendorong praktik kota terbaik dari negara yang sukses, serta memfasilitasi dialog para pemangku kepentingan untuk mengatasi permasalahan di Jakarta yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan standar hidup perkotaan. Anggota JPI adalah para pelaku industri properti yang siap memberikan kontribusi optimal untuk mewujudkan Jakarta yang berkelanjutan.

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi www.jpi.or.id  atau hubungi Linda (+6281283951900).

News

Blogs